Tuan, andai semua
kini memang sudah di takdirkan Tuhan untuk memberi aku kesempatan. Tolong
jangan pernah mematahkannya untuk kesekian kali lagi. Dulu, cukup sajalah aku
itu dulu. Hanya mampu memandang jauh lekat wajahmu sambil menahan gelombang
sesak yang ntah darimana asalnya. Ah, bagaimana mungkin menyimpan rasa padamu
bisa membuat tubuhku gigil lemas bila menyapa. Hei, aku selalu menunggumu
datang untuk sekedar bertemu. Tapi sayang, menemukanmu dimana dan kapan itu
sulit rasanya. Aku harus menekan berkali kali rindu itu sampai tenggelam benar,
yah bagaimana lagi aku ini cuma penganggum rahasia kata orang. Menunggu
kedatanganmu hingga aku lupa, sedang apa aku? Menunggu siapa aku? Aku menikmati
masa-masa itu sambil bahagia bila waktunya aku mendapatkan senyummu di sisi
lain. lucu bukan?
Rinduku memang
tak punya Tuannya, padahal banyaknya tak berkesudahan. Kalau pun bertemu untuk
memiliki Tuannya manalah mungkin terjadi. Bisa-bisa aku di hantam baja, bukan
perihal nyonyamu tetapi baja yang aku buat sendiri sebenarnya. Kata orang
memendam rasa hingga kau kehabisan waktu itu hal paling menderita. Tetapi
untukku, mencintai diam adalah cara paling istimewa sampaikan rasa padamu. Hal
kecil apapun tentang mu itu bisa menjadi hal paling berarti untukku. Ketika kamu
memanggil namaku saja, itu sudah cukup mencuri degub jantungnya lebih dulu. Bayangkan
saja lah betapa noraknya nona sendirimu ini, aku bisa berteriak kegirangan
sendiri pada teman perempuanku. Menumpahkan bahagianya hati. Tetap saja tidak
begitu peduli untuk arti kewarasan. Bagiku memiliki rasamu sudah membuat gila
dalam arti berbeda. Tapi sayang, itu bukan khusus semua orang melakukannya.
Tuanku yang
memiliki mata sipit, aku panggil apa sajalah yang penting kamu. Aku suka matamu
yang minimalis itu, meskipun sulit rasanya mencuri maniknya. Bagaimana untuk
dicuri, meliriknya saja tak pernah ada keberanian. Lagi lagi aku terlalu
menyukaimu tetapi tak begitu peduli dengan keberadaanmu.
“Apa yang menjadi
alasan kamu suka dia?.” Ini pertanyaan salah satu teman baikku.
Kau tahu
jawabanku apa? cukup satu kalimat menegaskannya. “Alasannya karena itu dia.”
Simpel bukan, ya sesimpel perasaanku bila menemukanmu.
Dilain hari
percakapan yang terkadang membuat aku begitu bingung.
“Buat apa suka
sama punya orang, kayak nggak ada laki laki lain.” kata Salah satu temanku
lagi.
“Hei, nona. Kalau
kita suka sama orang nggak peduli dia punya orang atau nggaknya.”
“Kamu itu aneh,
kalau kita suka sama orang harapannya buat dapet balesan kan?.”
“Iya sih, tapi
kalau aku sih nggak peduli dianya mau kayak gimana itu urusan dia. Kalau urusan
aku cuma satu, aku suka dia. Gituuu.” Jawabku.
Jawaban yang
sebenarnya adalah hiburan untuk diriku sendiri, benar Tuan setiap perasaan
selalu berharap sebuah tempat. Tetapi bila memilikinya saja sudah membuat
bahagia sudah cukup rasanya. Sebab Tuhan selalu tahu bukan apa yang kita
butuhkan?. Mimpiku sekedar sederhana Tuan, memuisikan kita dalam kata hingga
semesta tak menjadi rahasia.
Terkadang aku
tersadar juga, apa gunanya menyukai kamu yang jelas-jelas sudah ada nyonya
menemanimu.
Namun kini,
aksaraku menjerit lantang.
Tatkala skenario
Tuhan tentang kita merdeka.
Menendang
nyonyamu, Tuan. Sebuah episode dengan judul Kita.
Merdeka itu
perkara gampang Tuan, tinggal membuang nyonyamu dalam cakap kita yang panjang.
Meskipun hanya
seperkian detik, meskipun sudah bertahun lamanya. Namun tetap saja istimewa
cukup membuat senyumku bermalam-malam mengembang nantinya.
Terimaksih telah
ada, Tuan. Menemani mimpi panjangku tentang aku lalu tentang kamu dalam atap
yang sama. Kelak.