Seperti
waktu sebelum-sebelumnya, kita tak pernah banyak bicara. Hanya tersenyum
basa-basi yang terkadang membuat amunisi untuk diriku sendiri. Seperti waktu
yang lalu, kita hanya mampu memasang tampang saling ramah tanpa pernah tahu
sedang apa bayangan-bayangan yang tergambarkan. Aku semakin lupa, bagaimana
caranya untuk menjelaskan segala rasa yang kini semakin tak karuan untuk
sekedar di tanam. Tuan yang sedang aku rahasiakan, aku merindukanmu dalam
setiap saat, bahkan sebuah rindu yang begitu terlalu. Namun aku mencoba tidak
ingin peduli, atau sekedar untuk menunjukannya didepan matamu. Sebab aku tahu
rasa ini tak boleh aku sampaikan kebenarannya. Aku tak mau perempuanmu tahu,
perempuan yang kini kau panggil nyonya jelitamu. Tuan, andai saja kau tahu
betapa nona ini mencintaimu. Sekali lagi dengan teramat dalam. Namun apalah
yang mampu aku lakukan, karena bahkan kau bukanlah milikku. Ini tak benar,
tetapi ini membuat candu. Berkali-kali ku coba matikan semuanya, namun setiap
itu juga aku menyerah sebab gagal membuat hatiku mengerti. Kau tak pantas untuk
dicintai.
Hingga aku menemukan titik dimana kata
lelah itu. Aku bahkan tak pernah membayangkan akan lelah mencintaimu dan pada
akhirnya lebih memilih mengikhlaskan kita. Bukan kita, aku dan kau. Tetapi
kita, aku dan perasaan ini. Aku menyerah mencintaimu dengan lelah. Tuan.
Sudah beratus hari aku menghirup kembali
udara yang tidak sesak, sebab tak ada lagi yang memenjarakan aku dengan semu.
Aku telah bebas dari cinta sendiri. Namun itu tak bertahan lama, sebab
bagaimana caranya kau datang tanpa aku minta, Tuan. Mengapa sekarang? Mengapa
harus saat ini? Ketika aku benar-benar tidak membutuhkanmu lagi?. Kenapa tidak
dulu saja saat aku menginginkan balasan atas rasaku. Kau kembali membuat aku
dalam kisah tak menentu.
“Aku menyayangimu, Ra.” Katamu sambil
memandang aku yang kala itu bahkan sudah tak lagi mengharapkan temu mata
denganmu.
“Lalu? Bagaimana dengan jelita?.” Ucapku
masih tak percaya.
“Boleh aku bersamamu, tetapi aku tidak
bisa melepasnya untuk saat ini.”Kalimat itu membuat aku terpaku, tak mengerti
denganmu. Aku memilih diam.
“Apakah perasaan itu sudah hilang? Perasaan
yang pernah kamu simpan buat ku?. Jujur aku juga memiliki perasaan sama sejak
dulu tapi kamu tidak datang di waktu yang tepat.” Kau masih terus menerangkan
Tuan, sedang aku masih terpaku dan berdiam.
“Ra, bicaralah. Biarkan aku mendengar
jawabanmu, Ra.”
Keheningan kembali menyelinap diantara
hembusan napas kita Tuan, aku bahkan bisa mendengar suara detak jantungku tak
karuan.
“Aku takut.”
“Takut apa, Ra? Aku benar-benar
menyayangimu. Kamu lebih baik dari Jelita, kamu tidak mau menjadi yang terbaik
untuk aku?.”
“Kamu salah, tidak ada perempuan baik
yang merebut kebahagiaan dan milik perempuan lain.”
Kau terdiam Tuan, aku memilih pergi kali
ini meskipun baru ku sadari rasa tentangmu masih begitu kuat tertanam. Aku masih
merasakan lemas tubuhku ketika mata kita saling bertatapan. Tuan andai kan kau
tahu cintaku padamu tidak mungkin aku matikan atau kau matikan.sejauh apapun
langkah kita nanti. Sungguh Tuan, menyatakan perasaan yang aku miliki padamu
seperti dulu. Itu bukan lagi tentang keberanian. Ini tentang sebuah hati yang
harus dijaga antara bahagia dan sedihku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar