Aku pernah bertemu perempuan itu.
Kesempatan
yang hanya dimiliki beberapa orang, kesempatan yang hanya satu banding seratus
ribu. Di sebuah toko buku tua, hanya menjual buku-buku lawas sudah sangat lama
dan mungkin tidak memiliki peminat lagi. Kemeja biru muda melapisi kaus putih
bersih, celana jeans dengan model selebor di bagian lutut sedikit terlihat
sobekan, juga sebuah sepatu bernada sama terkesan tomboi. Perempuan itu
membolak-balikan setiap buku yang ia pegang. Salah satu buku tentang, biografi
Soekarno juga beberapa biografi tokoh pembesar lainnya. Mungkin dia adalah
mahasiswi jurusan sejarah pikirku kala itu. Di toko tersebut tidak banyak anak
muda, mungkin hanya kutu buku seperti aku yang hobi bermain disini. Bukan
perempuan itu, ia sangat jauh dari kata kutu buku.
Jendela
di sisi toko buku menjadi tempat favoritnya mungkin, ia tidak beranjak dari
sana sejak tadi kecuali ketika mengganti buku bacaannya. Beberapa buku yang dia
ambil tampak berdebu, mungkin sudah terlalu lama tidak digunakan. Aku masih
memperhatikan perempuan itu, ia merogoh tas ranselnya mengeluarkan sesuatu yang
ternyata sebuah kacamata. Mungkin gadis itu memang seorang kutu buku, tidak
pernah disangka ada kutu buku seperti dia. Sial! Perempuan itu memandang ketika
aku sedang asik memperhatikannya. Matilah, pikirku mungkin perempuan itu akan
marah dan memaki lelaki genit yang memananginya. Atau mungkin dia akan beranggapan,
aku berotak mesum. Tuhan, tolong kuatkan hati untuk dimaki.
“Ini.” Dia memberikan sebuah buku tanpa
banyak berkata.
“Untuk apa?.” Tanyaku polos.
“Aku lihat dari tadi kamu merhatiin aku lagi
baca buku ini, aku rasa kamu butuh buku itu. Ambil aja, aku nggak butuh banget
kok.” Lanjutnya dan berlalu pergi.
Perempuan
istimewa itu, toko buku tua yang sudah mempertemukan aku dengan perempuan itu.
Mungkin kalau saja dulu aku bukan seorang kutu buku, aku tidak pernah bertemu
perempuan yang sekarang telah menemani banyak hal bersamaku. Dialah Ririn,
gadis cantik dengan kepribadian yang sangat berbeda dengan gadis lain. Begitu
banyak masalah ketika semakin dekat waktu itu, aku semakin takut ketika
bersamanya. Bukan takut untuk hal lain,
aku takut tidak bisa membahagiakannya. Memberi yang terbaik bagi perempuan itu.
Aku bukan lelaki yang hebat dalam segala hal, aku tidak terlalu pandai agama,
yang aku tau cuma sebatas shalat fardu, sunah, puasa, zakat, dan naik haji.
Sebatas mengerti baik dan buruk, mana perintah Allah dan laranganNya. Aku takut tidak bisa menjadi
iman terbaik untuk perempuan itu. Bersikap romantis bukan keahlian dalam
membahagiakannya, memanjakannya ku rasa tidak pernah sebab aku percaya
perempuan itu mandiri, selain itu alasannya mungkin kembali ke kata takut.
Takut membuat dia tidak nyaman ketika perhatian ekstra mulai di berikan. Namun
cinta pada perempuan itu jelas tanpa jeda, tidak akan pernah surut meski banyak
hal yang aku takuti. Tetap saja bersamanya terlalu banyak kekuatan membangkitkan
semua.
Ada
sebuah kejadian yang membuat aku menyesal sampai sekarang, ketika pertengkaran
kami tentang sebuah pendakian gunung. Kenapa tidak mengiyakan saja
permintaannya, andai saja semudah itu mungkin sudah ku lakukan. Pada
kenyataannya, gunung masih menjadi tempat yang sangat aku benci, sangat aku
coba hindari, andai saja Ririn meminta untuk berenang di laut mungkin tanpa
banyak alasan sudah kulakukan. Banyak hal yang coba sembunyikan untuk
kebahagiaan perempuan itu. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi teman
pendakianmu, terbaik.
-Dias-
#30DWC12