Subuh kali ini sedikit berbeda, ada debaran hebat yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Selain waktu subuh adalah waktu dimana manusia-manusia yang disebut muslim. Saling bergegas Menyapa Allah di rumah-Nya untuk beribadah. Subuh memang dijadikan waktu membuat janji-janji saling menyapa terhadap Sang Maha Esa dan janji kepada diri sendiri. Subuh memang selalu di jadikan waktu yang tepat menikmati betapa keagungan Allah yang Perkasa. Itulah kurang lebih definisi subuh untukku.
Seperti biasa setelah shalat subuh aku
tidak pernah beranjak untuk kembali terlelap. Ku biarkan khusyuk membawa pada
ayat-ayat nan Maha Suci milik-Nya. Ku kira debaran yang hebat ini akan lekas
hilang tapi semakin matahari beranjak mencilukbakan dunia semakin hebat juga
debaran yang aku rasakan.
Sudah
sering ku lalui subuh seorang diri ketenangan yang ku bangun seorang diri.
Sudah terlalu panjang perjalanan yang jauh dan sendiri. Tak pernah ku rasakan
subuh yang berbeda seperti ini. Subuh tetaplah sama seperti biasanya. Hari ini
ku lalui subuh yang berbeda, beberapa detik lantas menit akan terlalui seperti
biasanya ku harapkan semua akan membaik. Debaran yang sangat hebat dan amat
menggelisahkan.
Senyummu
merekah laksana jingganya senja yang banyak ku lewati bersama denganmu tanpa
sebuah perjanjian. Senja yang selalu menjadi saksi bisu antara kita berdua.
Tepatnya jingga yang menjadi saksi bisu perasaanku. Langkah semakin ku tahan,
mencoba setiap jengkalnya tegar dan terlihat baik-baik. Senyummu tak lepas juga,
senyuman yang berbeda bertahun-tahun ku lihat senyum itu. Kau sangat tampan
subuh ini, begitu tampan mengenakan pakaian itu. setelah jas berwarna hijau
muda terlihat amat kesual dan elegan. Berpadu kemeja putih bersih di dalamnya. Masih
jelas ku ingat, beberapa hari lalu kumis
yang selalu menghias wajah itu. sekarang sudah bersih, untuk menyambut sebuah
janji subuh. Aku mengacungkan jempol padamu, Tuan. Langkahku sedikit terjungkal
oleh pakaian yang membalut tubuh bulatku. Ntah kita masih sehati atau tidak,
warna baju yang ku kenakan sedikit bernada sama dengan pakaian yang kau kenakan
Tuan. Sungguh ada debaran hebat yang sudah di sulap menjadi hantaman membuat
langkahku semakin berat.
Aku terus
melangkah menguatkan sesuatu yang ku sebut hati ini. Karena, hari ini adalah
hari bahagia, yang ku tau seperti itu jelasnya. Aku tidak mau mengecewakanmu,
di hari yang bahagia ini.
“Kamu sangat cantik. Kamu sangat cocok
dengan Tegar.” Kataku kepada nyonyamu, Tuan. Masih memegang tangan, tepatnya
mendampingin hingga tepat tertuju pada tempatmu. Senyummu, berbeda dari
biasanya. Kau terlihat amat bahagia, Tuan. Meski ngilu benar terasa, aku ikhlas
melepaskan perasaan ini yang tidak pernah sempat ku beri kesempatan
membebaskannya. Sebab Allah selalu berlaku adil meski yang kita cintai dengan
penuh, bukanlah seseorang yang akan menemani subuh ini sepanjang umur.
Berbahagialan Tuan, dengan subuh yang berbeda....
Bayangan itu sempurna mengisi memori
kecilku sebelum kalimat itu terucap..
“Saya terima nikah dan kawinnya Andina binti
Mahendra dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan kitab suci Al Qur’an di
bayar tunai!.” Sempurna subuhku kali ini. Suara itu dengan lantang dan fasih
meski tidak bisa di bohongi ada getaran hebat di dalamnya. Bergaung sempurna di
ujung ufuk timur ini, mengoyak udara subuh begitu menyegarkan.
“Alhamdulilah” Lirih hati kecilku
mewakili sempurna perasaan ini. Air mata mewakili kegelisahan yang sudah
beberapa hari ini ku lalui. Maha Besar Allah, tidak ada yang tidak mungkin
bagi-Nya. Perasaan yang ku sandarkan pada-Nya, untukmu Tuan. Sekarang telah di
berikan utuh padaku.
Bayangan
itu kembali menyusup sempurna di tengah kebahagiaan banyak orang. Termasuk aku
kebahagiaan yang akan menjadi milikku.
“Kau tidak seharusnya bersembunyi
selama ini, Din.” Katamu tersenyum.
Aku hanya mampu menatap ke arah wajah
senyum itu, wajah yang selalu ku selip setiap doa-doa terpanjat.
“Andai saja Kau memberi ku, kesempatan
lebih awal, aku dan siska tak perlu berpura-pura sejauh ini. Siska itu
keponakanku Din...” Kau tersenyum menggodaku.
Ternyata hari
itu bukanlah milik kau dan nyonyamu yang sering ku kira. Hari itu adalah milik
aku dan Tuanku. Diam-diam semua orang menyiapkan pernikahan yang amat selalu
aku harapkan. Diam-diam tanpa aku tau, Tuan.Aku tak pernah membayangkah kisah
ini, akan berubah menjadi seperti ini.
Kisah ku dan Tegar. Lantas aku tersenyum mengangguk kecil. Mengiyakan semua
takdir yang Allah beri. Subuh ini memang berbeda... Tuanku.