Permen Kecil

Permen Kecil
Siap-siaplah menikmati permen kecil jangan di bawa perasaan nanti bisa jatuh di buat cinta sebab Meski hanya permen kecil akan menjadi pemanis dalam hidupmu.

Kamis, 26 Maret 2015

Pada Subuh yang Berbeda



            



                Subuh kali ini sedikit berbeda, ada debaran hebat yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Selain waktu subuh adalah waktu dimana manusia-manusia yang disebut muslim. Saling bergegas Menyapa Allah di rumah-Nya untuk beribadah. Subuh memang dijadikan waktu membuat janji-janji saling menyapa terhadap Sang Maha Esa dan janji kepada diri sendiri. Subuh memang selalu di jadikan waktu yang tepat menikmati betapa keagungan Allah yang Perkasa. Itulah kurang lebih definisi subuh untukku.

            Seperti biasa setelah shalat subuh aku tidak pernah beranjak untuk kembali terlelap. Ku biarkan khusyuk membawa pada ayat-ayat nan Maha Suci milik-Nya. Ku kira debaran yang hebat ini akan lekas hilang tapi semakin matahari beranjak mencilukbakan dunia semakin hebat juga debaran yang aku rasakan. 

                Sudah sering ku lalui subuh seorang diri ketenangan yang ku bangun seorang diri. Sudah terlalu panjang perjalanan yang jauh dan sendiri. Tak pernah ku rasakan subuh yang berbeda seperti ini. Subuh tetaplah sama seperti biasanya. Hari ini ku lalui subuh yang berbeda, beberapa detik lantas menit akan terlalui seperti biasanya ku harapkan semua akan membaik. Debaran yang sangat hebat dan amat menggelisahkan. 

Senyummu merekah laksana jingganya senja yang banyak ku lewati bersama denganmu tanpa sebuah perjanjian. Senja yang selalu menjadi saksi bisu antara kita berdua. Tepatnya jingga yang menjadi saksi bisu perasaanku. Langkah semakin ku tahan, mencoba setiap jengkalnya tegar dan terlihat baik-baik. Senyummu tak lepas juga, senyuman yang berbeda bertahun-tahun ku lihat senyum itu. Kau sangat tampan subuh ini, begitu tampan mengenakan pakaian itu. setelah jas berwarna hijau muda terlihat amat kesual dan elegan. Berpadu kemeja putih bersih di dalamnya. Masih jelas ku ingat, beberapa hari lalu  kumis yang selalu menghias wajah itu. sekarang sudah bersih, untuk menyambut sebuah janji subuh. Aku mengacungkan jempol padamu, Tuan. Langkahku sedikit terjungkal oleh pakaian yang membalut tubuh bulatku. Ntah kita masih sehati atau tidak, warna baju yang ku kenakan sedikit bernada sama dengan pakaian yang kau kenakan Tuan. Sungguh ada debaran hebat yang sudah di sulap menjadi hantaman membuat langkahku semakin berat.

Aku terus melangkah menguatkan sesuatu yang ku sebut hati ini. Karena, hari ini adalah hari bahagia, yang ku tau seperti itu jelasnya. Aku tidak mau mengecewakanmu, di hari yang bahagia ini. 
“Kamu sangat cantik. Kamu sangat cocok dengan Tegar.” Kataku kepada nyonyamu, Tuan. Masih memegang tangan, tepatnya mendampingin hingga tepat tertuju pada tempatmu. Senyummu, berbeda dari biasanya. Kau terlihat amat bahagia, Tuan. Meski ngilu benar terasa, aku ikhlas melepaskan perasaan ini yang tidak pernah sempat ku beri kesempatan membebaskannya. Sebab Allah selalu berlaku adil meski yang kita cintai dengan penuh, bukanlah seseorang yang akan menemani subuh ini sepanjang umur. Berbahagialan Tuan, dengan subuh yang berbeda....

Bayangan itu sempurna mengisi memori kecilku sebelum kalimat itu terucap..

 “Saya terima nikah dan kawinnya Andina binti Mahendra dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan kitab suci Al Qur’an di bayar tunai!.” Sempurna subuhku kali ini. Suara itu dengan lantang dan fasih meski tidak bisa di bohongi ada getaran hebat di dalamnya. Bergaung sempurna di ujung ufuk timur ini, mengoyak udara subuh begitu menyegarkan.

“Alhamdulilah” Lirih hati kecilku mewakili sempurna perasaan ini. Air mata mewakili kegelisahan yang sudah beberapa hari ini ku lalui. Maha Besar Allah, tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Perasaan yang ku sandarkan pada-Nya, untukmu Tuan. Sekarang telah di berikan utuh padaku.

                Bayangan itu kembali menyusup sempurna di tengah kebahagiaan banyak orang. Termasuk aku kebahagiaan yang akan menjadi milikku.

“Kau tidak seharusnya bersembunyi selama ini, Din.” Katamu tersenyum.

Aku hanya mampu menatap ke arah wajah senyum itu, wajah yang selalu ku selip setiap doa-doa terpanjat.

“Andai saja Kau memberi ku, kesempatan lebih awal, aku dan siska tak perlu berpura-pura sejauh ini. Siska itu keponakanku Din...” Kau tersenyum menggodaku. 

Ternyata hari itu bukanlah milik kau dan nyonyamu yang sering ku kira. Hari itu adalah milik aku dan Tuanku. Diam-diam semua orang menyiapkan pernikahan yang amat selalu aku harapkan. Diam-diam tanpa aku tau, Tuan.Aku tak pernah membayangkah kisah ini, akan berubah menjadi  seperti ini. Kisah ku dan Tegar. Lantas aku tersenyum mengangguk kecil. Mengiyakan semua takdir yang Allah beri. Subuh ini memang berbeda... Tuanku.

Minggu, 15 Maret 2015

Kue Manis (Episode 2)


            Bayanganmu masih menjelma menjadi bias yang semu dalam setiap senjaku. Aku berdiri menatap senja yang berjingga sendiri. Suatu saat aku berharap bisa menikmati senja, momen yang paling aku sukai. Karena senja mengahantarkan kita disebuah dimensi indah setelah seharian penuh terjun di dalam dunia yang penuh dengan kepenatan. Aku menyukai senja seperti aku menyukaimu, Zon. Zona, segala tempat membagi segala rasa, tempat kenyamanan antara senja dan jingga. Tuan tempat aku mencintai penuh tanpa sebuah alasan selain kenyamanan.
            Senja sudah mulai menghilang dari langit, tetapi aku masih sendiri tanpa siapa pun. Terawangan membayangkan jauh dirimu disana, sedang menikmati kue manis bersama nona cantikmu itu. Andai saja itu aku, tidak perlu kau bersusah payah membahagiakan aku dengan kue manis itu sebab bersamamu saja sudah menjadi bagian yang manis dalam detik-detik waktuku. Kue manis, bayangan kue manis itu menggoda selalu menggoda memanggil aku tanpa sebab yang jelas.  Kue manis yang akan menjadi kue manis tetapi pahit untukku. Sebab dia merebut Tuanku.
Klik. Nada pesan masuk.
Tuanku:
Aku memerlukan bantuanmu, Kin. Aku tunggu di tempat biasa.
            Pesan itu seperti menghipnotis aku, langkahku jauh lebih cepat dari yang aku duga. Sampai tidak memperdulikan pakaian yang aku kenakan. Ku tarik jaket berwarna cokelat yang ada terletak di kursi terdekat. Aku yakin, rambutku tidak tertata rapi, wajahku pasti kusam dan dekil. Ah, tapi tidak masalah untukku. Aku segera menaiki sepeda motor berwarna hijau muda kesayanganku. Menuju tempat yang tertera dalam pesan itu “tempat biasa” hanya satu tujuan.
            Suasana sepi, aku hanya melihatmu sedang duduk lesu. Apa yang terjadi? Aku terus bertanya cemas, bingung dan ketakutan terjadi sesuatu kepadamu. Apa nona itu menolak kue manismu, Tuan? Jangan menangis, aku tidak mau melihat kau menangis Tuan.
“Ada apa, kamu kenapa. Hah ?.” Aku bertanya setengah tersenggal-senggal dengan nafas yang tak teratur.
Tetapi, kamu hanya diam menatap aku gamang. Tolong, katakan sesuatu jangan membuat aku semakin kebingungan. Jawab aku, Zon.
“Katakan, apa yang terjadi? Dimana gadis kue manismu. Zon? Dia menolakmu? Iya? Kamu kenapa? Katakan sesuatu.” Aku semakin tidak teratur dengan emosi ini. Ku dekatkan wajahku, tanganku dengan paksa mengangkat wajahmu yang tertunduk lesu. Di luar dugaan kau malah berdiri, mengacuhkan aku. Apa sebenarnya yang terjadi, ya Allah? Apa yang terjadi?.
“Kamu, mau kemana? Dimana dia? Biar aku temui dia....” Kata-kataku terhenti mencengkik tenggorokan ketika lengan itu memegang pegelangan tanganku lembut. Jantungku memanas, memompa jauh lebih cepat. Perasaanku tidak karuan, mencoba meluruskan jalan fikiranku.
“Nona itu sekarang berdiri di depanku, Kin.” Senyummu mengembang, senyum yang selalu ku rindukan.
Aku terdiam, mulutku terkunci rapat. Lantas kau  memberikan aku sebuah bungkus kotak berwarna hijau muda, warna favoritku.
“Ini, untukmu. Bukalah.”
Tanpa di aba-aba kedua kalinya, aku membuka kotak itu. Air mata tidak mampu ku bendung lagi. Aku menangis tentang kebahagiaan. Kue manis itu adalah milikku. Apa kah mungkin itu aku?.
“Aku mencintaimu, Kin. Kue manis ini untukmu. Setiap hari aku akan, membuatkan kue manis untukmu hingga kamu bosan.”
Aku sejenak terdiam. “Aku tidak bisa pacaran, Zon. Kamu tau itu...”
“Menikahlah denganku.....”

            Kata-kata itu, merenggut semua kebahagianku. Menumpahkan segala perasaan dan kegundahanku. Kue manis ini benar-benar akan terasa manis, kue termanis yang pernah aku makan. Terimakasih, Ya Allah atas takdir kue manisMu ...

Jumat, 13 Maret 2015

Waktu


            Gerimis kembali jatuh, dibarengi oleh suara dentingan air beradu dengan tanah basah. Namun petir sudah tidak lagi meraung seperti awalnya, seakan mengeluarkan kemarahannya yang ada. Hujan yang sedari tadi tidak lelah mengambill jatah kerja, tetap urung meninggalkan langit yang tertutup awan gelap.
“Sudah lama menunggu, Kin?.” Suaramu selalu menjadi alasan aku bahagia.
“Lumayan, kamu selalu saja membuat aku menunggu.” Jawabku sedikit kesal, aku tidak kesal hanya saja aku selalu merindukan saat-saat kamu besikap manis padaku, Zona.
Tersenyum, ya cukup senyummu membuat hatiku luluh dan menyerah. Sudah berapa lama senyum itu menjadi bagian dari hidupku. Ntah, sejak kapan segaris tarikan di bibir itu menjadi begitu penting dan teramat sangat penting dalam keseharianku.
 Hari ini aku akan mengenalkanmu dengan Geta. Wanita yang berarti dalam hidupku, persahabatan terjalin cukup lama antara aku dan Geta. Aku mengingat pertama kali kamu begitu tertarik dengan foto gadis itu. Betapa dia sangat cantik dan menawan. Sempurna, untuk di sandingkan denganmu yang tampan dan mapan, Zon. Disisi lain aku tidak mengerti apa yang sedang aku lakukan.
Aku berdiri dari tempat duduk, bergerak mendekatimu. Tanganku lincah berjalan di rambut itu, kau terlihat tampan hari ini. Walau rambut itu seperti biasa terlihat berantakan. Ah, tetapi tidak masalah, kau masih terlihat tampan malah lebih tampan dari biasanya seperti namamu yang mempesona.
 “Pasti kamu terpesona kan, Kin? Selalu tampan dimatamu kan Kin?.” Kau tertawa bercanda sengaja memandang ke arahku sambil memandang dengan tatapan manja itu. Mata yang sudah cukup lama menjadi tempat aku berbagi rasa sekian lamanya tanpa kamu.
Aku mengangguk pelan, lantas tangan jailmu mulai mencubit hidung kecilku seperti biasanya. Aku mendengus mencoba menampakkan wajah kesal. Tapi  sungguh, mana mungkin aku bisa kesal apalagi marah. Aku hanya salah tingkah, kebingungan dan canggung harus bersikap. Aku mundur selangkah. Sejujurnya aku menyukai kedekatan seperti ini denganmu, sejak dulu. Bertahun lamanya tidak berubah selalu sama. Berdua denganmu, menghabiskan waktu denganmu walau hanya beradu argumen atau mencaci kecil membuat aku nyaman. Ini cinta.
Beberapa menit datang seorang wanita menggunkan gaun hijau muda lembut dengan wajah cantik mempesona.
“Aku Zona, Zona Langit Mandala.” kau menyebutkan nama dengan sempurna sambil mengulurkan tangan tanda persahabatan. Hatiku kembali meronta ingin lepaskan segala kekacauan yang aku sebabkan sendiri. Hati kecilku terus menangis, merintih dan memaki mengatai aku Bodoh, bodoh dan bodoh.
Tiba-tiba bayangan yang menyakitkan itu datang begitu jelas entah apa yang membawanya begitu nyata. Kejadian bertahun-tahun lamanya kembali menggoda, mengkikis ketegaran yang sudah bertahun-tahun juga aku bangun. Perasaan ini belum sepenuhnya berdamai dengan keadaan, aku sudah jauh berlari bertahun-tahun berupaya sebisa mungkin menghilangkan perasaan yang tumbuh namun tidak semudah yang aku bayangkan.
Klik. Bunyi ponselku tanda pesan masuk.
Ibu :
Pulang lah barang sebentar ibu dan ayah merindukan kamu Kinanti.
Aku tidak punya pilihan selain menghilang sejauhnya yang bisa aku lakukan. Aku tidak sanggup melihat kenyataan kehilangan langitku. Berikan aku beberapa waktu lagi, aku yakin akan bisa membunuh dan berdamai dengan perasaan sebelah pihak. Perasaan yang hampir lima belas tahun tersimpan rapat, hanya ibu yang mengetahuinya. Hanya ibu yang ku percaya.


Minggu, 08 Maret 2015

Kue Manis (episode 1)

“Sudah, Kin?.” Tanyamu tidak sabaran.
“Sebentar lagi, nggak sabaran banget.” Aku sedikit kesal menjawabnya sambil mengaduk adonan kue yang sedang kita persiapkan. Alangkah senangnya melakukan hal-hal menyenangkan seperti ini denganmu, Tuan. Melihat matamu yang sungguh-sungguh sedang membaca buku-buku resep kue yang tersedia di atas meja dapur. Kau tampak tampan dengan celemek menggantung di leher jenjangmu, Tuan. Aku mencuri pandang di sudut mata ini sembari pura-pura kusyuk mengaduk adonan yang sedari tadi sambil tersenyum geli melihat tingkahmu, Tuan.
Tiba-tiba aku teringat di suatu senja kamu meminta aku untuk mengajarkan membuat kue manis ini, Tuan. Beberapa hari kita melakukan percobaan, beberapa kali juga gagal, ada yang hangus, ada yang bantet dan bulat seperti aku, mengingatnya membuat aku tertawa geli. Tapi, kau tidak putus asa bahkan waktumu yang katanya penting itu. Di habiskan dengan membuat kue manis yang sebenarnya bisa kau beli di toko kue mana pun, yang berserakan di kota ini. Ada apa denganmu, Tuan? Apa kau berniat memberi hadiah kecil kepada perempuanmu. Aku sedikit cemburu. Perempuan mana yang tidak tergila-gila dengan pesonamu Tuan. Kau tampan dan juga mapan, berbudi pekerti baik dan bijaksana meski terkadang kau begitu menyebalkan untukku.
“Tadaaaa, jadi deh.” Suaramu terdengar bahagia melihat kue manis itu benar-benar membuat perut siapapun ingin melahapnya cepat.
“Aku coba ya?” Lanjutku “ Enak loh, Zon. Cobain deh.” Aku sambil mencoba menyuapi kue manis ini tapi sepertinya postur tubuhmu yang semakin tinggi membuat aku sedikit kesulitan, Tuan.
“Nunduk coba, biar aku suapin.” Pintaku sedikit canggung.
“Segini Cukup?.” Senyummu tampak riang menggoda. Kau menundukkan wajahmu tepat berhadapan dengan mata. Aku memasang wajah tak senang, memasamkan wajah.
“Bercanda Kinan, jangan marah ah!” Geletuk tawamu sekilas membayang dimata. Aku hanya mendengus kesal dan masih tidak teralih. Sungguh Tuan, aku tak marah hanya saja aku tak tau harus berbuat apa. Aku hanya mampu pura-pura merasa risih dengan kelakuan jailmu itu. Aku selalu senang berada di dekatmu mendapatkan kejailan-kejailan, itu membuatku nyaman Tuan. Ku sebut itu cinta atau mungkin ku sebut sayang, tetapi terserahlah. Bagiku apa pun itu yang terpenting berada di sisimu sudah cukup membuat aku bahagia. Meskipun, sebentar lagi kau akan menemukan nona pengantar rindumu Tuan. Aku terasingkan Tuan...

          Kue manis untuk nonamu sudah selesai, mungkin beberapa jam lagi dia akan merasakan kue manis kerja kerasmu Tuan.