Ku
Biarkan layar laptopku kosong tanpa garis sebuah pun. Hanya ada awalan garis
yang berkedip di kertas. Sudah hampir satu jam lebih aktivitas ini ku lakukan,
termenung di depan laptop tetapi tidak satu kalimatpun berhasil memecah
kebuntuan. Tanganku seakan kaku dan beku, tidak biasanya seperti ini hanya ada
alasan yang tepat ketika tangan ini tidak mau di ajak menari. Apalagi kalau
bukan masalah mood, kalau di bilang aku memang bukan penulis profesional yang
masih saja mengandalkan mood untuk menuntaskan tulisan. Layout kertas kosong
ini seperti mengejekku sebab tak jua aku nodaiia. Ada sesuatu yang menggoda
setiap detik sejak tadi, benda persegi panjang yang sudah lima belas kali aku
lihat untuk memastikan sesuatu yang membuat penasaran. Tetapi hasilnya tetap
nihil tidak ada yang tertera disana selain gambar Ha Ji Won salah satu aktris
korea favoritku.
Kali
ini aku memilih meletakkan kepala yang mulai terasa beratnya. Beginilah setiap
menahan rindu. Berkali kali di tepis tetap saja tidak bisa, kalau rindu obatnya
hanya kabar. Ini bukan masalah gengsi atau apapun. Aku hanya tidak ingin
menganggu seseorang yang sedang aku rindukan itu. Terkadang aku ingin di manja,
tetap saja bagaimana pun aku perempuan. Setidak peduli apapun aku tetap
perempuan, sapaan kecil saja bisa membuat energi positif yang luar biasa. Kali
ini aku harus menghancurkan benteng itu, kali ini saja lah atau aku akan mati
karena rindu. Hei, bukan mati sebenarnya itu hanya kiasan saja. Aku seorang
penulis sudah terbiasa dengan ribuan kalimat kiasan. Padahal hari ini adalah
malam tahun baru, bukan sekedar malam tahun baru tetapi hari ke seribu untuk
kami. Menyebalkan.
Kali ini, tanganku mencari benda persegi
panjang sejak tadi sudah mengusikku. Dengan cepat kontak nama seseorang aku
dapatkan.
“Lelaki Sempurna.” Lalu ku tekan tombol
call. Sampai sekarang saja sudah bertahun lamanya tetap saja mendengar suaranya
butuh waktu untuk menetralkan situasi dan hatiku.
Tersambung.. ada kejutan yang membuat
jantungku seperkian detik berhenti.
“Haloo,” Suara seorang wanita.
“Hallo? Dias sedang mandi.”Wanita itu
kembali menyaut. Kali ini tubuhku benar-benar melemas seketika. Tenang Ra, aku
menenangkan hatiku sendiri. Segera ku lihat jam di tangan yang menunjukan pukul
08.25. kali ini pertahananku benar-benar melemah. Tenggorokanku kering, mataku
memanas.
Tanpa
aku pikirkan lagi, segera saja ku rapikan pakaian dan memesan tiket pesawat.
“Kamu mau kemana?.” Tanya Ririn salah
satu temanku.
“Bagaimana pun caranya, aku harus
kembali ke Bandung sekarang juga.” Kataku tidak lagi mempedulikan apa katanya,
kepalaku sekarang hanya sedang memfokuskan mencari tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Siapa wanita yang berani-beraninya mengangkat teleponku.
Tanpa perlu berlama-lama lagi, aku sudah
terbang menuju Bandung dari Surabaya. Aku yang suka menghitung kali ini tidak
tahu, sudah hitungan keberapa pesawat ini hingga sampai Bandung.
Sekarang
aku harus secepatnya ke apartemen Dias, semoga saja dia tidak mengganti tempat
tinggalnya setelah hampir setahun aku tidak pernah menemuinya. Kepalaku terus
di hantui suara wanita sok manis itu, ya Tuhan apa aku sanggup menerima
kenyataan ini. Jawaban ratusan pertanyaan yang sedari tadi sudah menguras
otakku, terjawab. Seorang wanita tinggi dengan rambut panjang keluar dari
apartementnya.
Dan kali ini aku kalah. Lebih baik aku
pergi, tak sanggup menyaksikan lelaki yang ku kira sempurna itu tak lebih dari
seorang Tuan lemah. Cintanya kalah pada jarak, waktu dan gadis seperti itu. Aku
membencimu.
Langkah kaki ini malah membawa ketempat
dimana kami pernah menghabiskan waktu bersama.
“Jangan hubungi aku lagi, Kita selesai.”
Dengan cepat ku tekan tombol send.
Beberapa menit setelah pesan itu,
puluhan pesan Dias masuk secara brutal. Membuat nada yang menyebalkan di
telingaku. Aku tidak mau mendengar apapun darinya, aku sangat membenci lelaki
lemah apapun alasannya.
Bandung
kota kembang, hari ini adalah perayaan tahun baru. Kembang api dimana-dimana
namun aku lebih memilih duduk menepi di sudut jembatan kota kembang. Tempat
yang selalu menjadi perenungan paling mujarab dulu dan sekarang. Sesuatu yang
silau dimandikan oleh cahaya lampu dijari manisku. Ternyata cincin pemberian
Dias masih ku pakai. Aku ingin melepasnya seperti ku lepaskan pemiliknya. Ntah
takdir atau apa yang membuatnya begitu sulit kulakukan, cincin itu tak juga mau
lepas.
“Mau melepasnya? Bila tidak mau lepas
jangan lepaskan.” Suara seseorang membuat amarahku semakin memuncak.
“Aku mau melepasnya!” teriakku sambil
berusaha melepaskan cincin itu.
“Jangan lepaskan cincinnya, begitu juga
aku. Jangan pernah lepaskan aku.” Lelaki itu menatap lekat mataku, dada
bidangnya memelukku. Ku tak boleh kalah, tak boleh.
“Pergilah! Aku tak suka punya Tuan yang
lemah!.” Suaraku semakin meninggi.
“Aku tidak pernah lemah. Kamu harus
mendengarkan penjelasanku kali ini. Perempuan itu bukan siapa-siapa dia junior
di tempat kerjaku. Dia menyukaiku, tapi aku tidak pernah menyukainya atau
perempuan lain selain kamu, Ra.”
“Bohong, aku melihatnya.”
“Percayalah, aku mohon percayalah. Aku
tidak akan pernah ingin dilepaskan olehmu. Tolong jangan lepaskan aku.”
Matanya memerah, aku mengerti kali ini
kenapa seribu hari pun tetap saja ada keteduhan dalam matanya.Aku mundur
perlahan mencoba mengerti keadaan, tetapi hatiku tetap terkoyak. Matanya masih
sayu menatap, tangannya menahan bahuku.
“Jangan, aku mohon percayalah.”Lirih
suaranya tenggelam oleh suara kembang api memecah langit malam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar