Hujan
malam ini saja dinginnya tidak mampu aku rasakan seperti biasanya. Kali ini aku
jauh lebih dingin dari namanya hujan. Tubuhku tak singkron, mulutku kelu dalam
bicara. Seperti orang yang bisu tak mampu bergumam untuk memulai cakap. Seandainya
aku bisa menangis, ingin ku maki juga semesta yang telah menjatuhkan auroraku. Namun
semua hanya lah tak mungkin. Menangis bukan selalu dalam bentuk bulir air mata
yang jatuh pada pipi, bisa saja ia bersembunyi dan lebih dari itu. Aku hanya
mampu membentang sajadah panjang, menghujam Tuhanku dengan doa-doa untuk
melapangkan hati. Aku hamba yang salah, tak seharusnya aku melakukan ini. Namun
aku tak bisa apa-apa.
Aku
tidak mengerti diriku sendiri, memahami apa maunya. Meski hati ini milikku
sendiri, terkadang ia seperti makhluk asing yang menentang jauh logikaku. Seperti
kala ini.
Melepasmu ? melepasmu sama saja membiarkan
sepotong hatiku di bawa pergi. Aku harus bertahan dengan sepotong hati yang
lain. Rasanya kosong, hambar dan hampa. Aku tak pernah ingin melakukaknnya,
bahkan tak yakin bisa melakukannya. Sebab harapan dan angan telah jauh menembus
batas perbatasan impian. Harapan yang aku seduh dalam takdir Tuhan. Kuingat kembali
percakapan kita selama ini selalu masuk dalam kategori debat tetapi biasa saja.
Sebab semua itu aku suka. Namun tidak untuk malam itu. Tuan, kau mengoyaknya
tanpa permisi. Lantas bagaimana kini caranya aku memulihkan semuanya? Sesalku hanya
satu mengapa harus kamu yang melakukannya.
Tuan ...
Pernah kau dengar seseorang
mengadahkan tangannya menyampaikan pintanya pada langit yang mulai berperang
dengan nuraninya?
Pernah kau melihat seseorang
membiaskan detak dadanya dengan senyuman lebar dihadapanmu?
Pernah kau melihat seseorang
menyembunyikan degub jantung yang di curi sebelum ia berdegub dengan ketusnya?
Jawabanya hanya adalah satu.
Tuan,
ketika ku katakan aku menyukaimu lebih dari hujan malam ini. Nyatanya memang
selalu begitu, sebab dinginmu selalu menghangatkan. Tetapi, kini ku rasa jauh
lebih dingin yang membekukan. Tuan, bila aku katakan menyayangimu kau akan
percaya? . Sudahlah, biar aku yang memahaminya sendiri, menikmatinya sendiri
(kembali). Senja dengan warna jingganya. Bentuk cinta yang lain bisa saja ia
melepaskan. Aku kembali sendiri menjadi nona senja si Penjaga jingga.
Ini bukan perkara cinta mati, lalu
mesti bersama tanpa tapi.
Ini adalah berserah diri atas apa
yang memang bisa dimiliki dan harus dilepaskan tanpa memaki. Mendoakan semoga
dia yang dipilih kemarin hingga detik nanti adalah dia yang menemani
anak-anakmu membagi keluh mereka atau sekedar bermain bola.
Semoga saja pertemuan kita adalah
takdir dan rencana Tuhan. Bukan sebuah seknario semesta untuk membuat aku tak
lagi merapal namamu. Meskipun setiap perempuan ingin menjadi pilihan. Tetapi aku
tak pernah ingin menjadi pilihanmu, maka jadikan aku tujuanmu. Tuan, ku harap
kamu bukanlah kamu yang sama. Sebab, bila itu bukan orang lain akan ku
semogakan kamu adalah orangnya kelak.