Bayanganmu masih menjelma menjadi
bias yang semu dalam setiap senjaku. Aku berdiri menatap senja yang berjingga
sendiri. Suatu saat aku berharap bisa menikmati senja, momen yang paling aku
sukai. Karena senja mengahantarkan kita disebuah dimensi indah setelah seharian
penuh terjun di dalam dunia yang penuh dengan kepenatan. Aku menyukai senja
seperti aku menyukaimu, Zon. Zona, segala tempat membagi segala rasa, tempat
kenyamanan antara senja dan jingga. Tuan tempat aku mencintai penuh tanpa
sebuah alasan selain kenyamanan.
Senja sudah mulai menghilang dari
langit, tetapi aku masih sendiri tanpa siapa pun. Terawangan membayangkan jauh
dirimu disana, sedang menikmati kue manis bersama nona cantikmu itu. Andai saja
itu aku, tidak perlu kau bersusah payah membahagiakan aku dengan kue manis itu
sebab bersamamu saja sudah menjadi bagian yang manis dalam detik-detik waktuku.
Kue manis, bayangan kue manis itu menggoda selalu menggoda memanggil aku tanpa
sebab yang jelas. Kue manis yang akan
menjadi kue manis tetapi pahit untukku. Sebab dia merebut Tuanku.
Klik.
Nada pesan masuk.
Tuanku:
Aku
memerlukan bantuanmu, Kin. Aku tunggu di tempat biasa.
Pesan itu seperti menghipnotis aku,
langkahku jauh lebih cepat dari yang aku duga. Sampai tidak memperdulikan
pakaian yang aku kenakan. Ku tarik jaket berwarna cokelat yang ada terletak di
kursi terdekat. Aku yakin, rambutku tidak tertata rapi, wajahku pasti kusam dan
dekil. Ah, tapi tidak masalah untukku. Aku segera menaiki sepeda motor berwarna
hijau muda kesayanganku. Menuju tempat yang tertera dalam pesan itu “tempat
biasa” hanya satu tujuan.
Suasana sepi, aku hanya melihatmu
sedang duduk lesu. Apa yang terjadi? Aku terus bertanya cemas, bingung dan
ketakutan terjadi sesuatu kepadamu. Apa nona itu menolak kue manismu, Tuan? Jangan
menangis, aku tidak mau melihat kau menangis Tuan.
“Ada
apa, kamu kenapa. Hah ?.” Aku bertanya setengah tersenggal-senggal dengan nafas
yang tak teratur.
Tetapi,
kamu hanya diam menatap aku gamang. Tolong, katakan sesuatu jangan membuat aku
semakin kebingungan. Jawab aku, Zon.
“Katakan,
apa yang terjadi? Dimana gadis kue manismu. Zon? Dia menolakmu? Iya? Kamu kenapa?
Katakan sesuatu.” Aku semakin tidak teratur dengan emosi ini. Ku dekatkan
wajahku, tanganku dengan paksa mengangkat wajahmu yang tertunduk lesu. Di luar
dugaan kau malah berdiri, mengacuhkan aku. Apa sebenarnya yang terjadi, ya Allah? Apa
yang terjadi?.
“Kamu,
mau kemana? Dimana dia? Biar aku temui dia....” Kata-kataku terhenti mencengkik
tenggorokan ketika lengan itu memegang pegelangan tanganku lembut. Jantungku memanas,
memompa jauh lebih cepat. Perasaanku tidak karuan, mencoba meluruskan jalan
fikiranku.
“Nona
itu sekarang berdiri di depanku, Kin.” Senyummu mengembang, senyum yang selalu
ku rindukan.
Aku
terdiam, mulutku terkunci rapat. Lantas kau
memberikan aku sebuah bungkus kotak berwarna hijau muda, warna
favoritku.
“Ini,
untukmu. Bukalah.”
Tanpa
di aba-aba kedua kalinya, aku membuka kotak itu. Air mata tidak mampu ku
bendung lagi. Aku menangis tentang kebahagiaan. Kue manis itu adalah milikku. Apa kah mungkin
itu aku?.
“Aku
mencintaimu, Kin. Kue manis ini untukmu. Setiap hari aku akan, membuatkan kue
manis untukmu hingga kamu bosan.”
Aku
sejenak terdiam. “Aku tidak bisa pacaran, Zon. Kamu tau itu...”
“Menikahlah
denganku.....”
Kata-kata itu, merenggut semua
kebahagianku. Menumpahkan segala perasaan dan kegundahanku. Kue manis ini
benar-benar akan terasa manis, kue termanis yang pernah aku makan. Terimakasih,
Ya Allah atas takdir kue manisMu ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar