Hujan
sore ini, aku masih saja menyukai hujan lebih dari apapun. Ntah mengapa dan
sejak kapan aku terpesona pada rintiknya. Mungkin saja hujan mengingatkan aku
pada sosokmu Tuan. Sebab aku mengenalmu dalam rintik hujan. Begitu aku ingat
basah rambutmu sebab hujan, kala itu aku benar-benar membeku karena pesonamu.
Bukan karena dinginnya hujan yang begitu aku suka.
Kecintaanku
pada hujan masih sama tidak berubah barang seinci pun. Namun ada yang berbeda
saat ini. Setiap hujan turun, aku tidak sebahagia dulu. Ada rasa yang hilang
pada hujan. Bukan pada hujan melainkan pada namamu Tuan. Tidak ada aku yang
dulu lagi Tuan. Meski kini kamu berbeda dari yang dulu, kau kini membawa
bingkisan yang (pernah) begitu lama aku tunggu. Sebuah detik yang pernah
menunggunya tanpa pernah ada kata je(n)uh. Tetapi itu adalah dulu bukan saat
ini. Mungkinkah ini batas yang banyak orang bilang titik lelah. Tuan, tidak
pernah sekali pun aku bayangkan berada pada posisi itu. Tapi aku tetaplah
seorang makhluk yang tak ada daya bila semesta menyeret aku dengan tegapnya.
Aku tak sanggup lagi bertahan Tuan. Tertatih seorang diri tanpa pernah sekali
pun kau peduli seberapa dalam lukanya. Lalu mengapa kini kau datang. Datangmu
mengapa begitu terlambat Tuan. Mengapa? ..

Tuan,
ku katakan sesuatu yang tak sekali pun niat hati bicara. Kali ini melihat
wajahmu sebentar saja aku mulai tak sudi. Sebab aku yang baru mulai datang,
meninggalkan aku yang dulu tak berdaya pada pesonamu. Namun, ada sesuatu yang
tak pernah bisa aku pastikan. Sesuatu itu adalah rasa ini yang entah masih ada
atau telah aku buang. Bisa saja waktu telah membawanya pergi ntah kemana, aku
sendiri pun tidak tahu. Tuan, untuk apa kau datang sekarang? Membawa rinduku
yang tidak pernah berTuan.
Tidak perlu lah kau mulai
pembicaraan denganku Tuan, sebab aku tidak ingin mendengar apa pun darimu.
Dimana dirimu yang dulu? Dirimu yang tidak sekalipun memberi aku sebelah
telingamu untuk mendengar suara nona ini.
Tidak perlu lah rasanya kau
mengubah penampilanmu seperti apa yang aku suka, sebab tidak akan meluluhkan
hatiku. Dimana dirimu yang dulu? Dirimu yang tidak pernah melihat hadirku meski
pun dengan sebelah matamu. Memandang aku yang begitu mati-mati(an) ingin
menjadi baik di hadapanmu.
Tuan, aku mohon tidak perlu kau
mencoba membuat aku tersenyum. Sebab senyummu sudah bukan tempat aku jatuh
berkali-kali. Kamu bukanlah orang yang dulu pernah begitu aku tunggu cintanya.
Tepatnya, aku bukan lah nonamu dulu lagi. Tuan kembalilah, lebih baik kau
seperti dulu. Agar tidak ada yang tersakiti. Aku tidak ingin menyakitimu,
membuatmu terluka. Seperti aku yang dulu pernah menahan dan menangis hingga air
mata tandas tanpa sebab yang jelas.
Tuan,
itulah hati. Tidak pernah selalu sama. Sang Maha Cinta memiliki bejuta cara
membalikannya tanpa perlu penjelasan. Aku bukan nona yang dulu, mendoakanmu.
Menolak beberapa hadirnya hati hanya untuk kamu yang jelas hatinya bukan
untukku. Kau cukup belajar untuk tidak merendahkan siapa pun saat dicintai.
Sebab hati orang yang mencintai itu tidak pernah mengerti mengapa harus
mencintai. Kini, aku hanya mengerti. Bukti cinta salah satunya adalah
melepaskan. Aku telah melepasmu, jauh sebelum kau mengerti apa itu di hadirkan
dalam kisah seseorang.
Selamat tinggal Tuanku yang dulu,
Tuan angkuhku dalam hati nona yang dulu.
#Tulisan yang terinspirasi dari
lagu Tulus berjudul Baru. Di dengarkan ketika hujan bulan november hadir ketika
senja mulai datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar