"Ada yang salah denganku?" Tanyamu tanpa menoleh dan masih menikmati senja.
"Apanya?" tanyaku heran.
"Apa sajalah pokoknya ada yang salah denganku?." tanyamu lagi tidak juga mengalihkan pandangan dari senja.
"...." aku hanya diam karena kehabisan kata-kata.
Aku
membaca malam sedingin angin, lalu ia membelai kesepian. Tuan malam ini aku
begitu bahagia, sebab ada kamu di sela hariku. Kau tahu detik detik yang kita
habiskan dalam kehangatan sebuah kebersamaan, detik detik kita hiasi dengan
suara gelak tawa, detik detik yang sengaja kita warnai cerianya canda. Detik
detik itu adalah waktu yang paling berharga untukku. Setiap detik yang terjadi
dalam perjalanan kita sore itu. Sebuah rangkaian detik yang menjadi saksi
tumbuh seuntai rasa pada hatiku. Detik detik yang tidak ingin aku lewati barang
sedetik pun. Sebab detik itu selalu cepat berlalu setiap bersamamu. Bagiku
detik itu bukan sebuah perpindahan waktu yang biasa biasa saja. Atau gerak sang
waktu yang semu dari sudut hatiku. Aku menamainya detik berharga. Apakah kau
akan sama menamainya?
Tuan,
tataplah ke langit ada begitu banyak jutaan bintang bertebaran namun tetap
tidak mampu mengalahkan terangnya bulan. Kenapa kau tidak mampu mengerti arti
alam sedemikian rupa. Kau masih terlihat aneh terkadang membuat aku ingin
bertanya satu hal. Apa yang terjadi? Kenapa kau harus bersedih? Aku disini
menemani ruang waktumu. Aku sengaja datang, sebab aku tidak suka kau kesepian.
Ketika kita sama sama terdiam, begitu jelas napasku berat sedang suaramu
bergetar. Aku mendengar begitu banyak kata yang sedang kau sembunyikan di dalam
sana. Bicaralah untuk sekedar membuka cakap antara kita. Sebab matamu menahan
segala kata yang ingin aku muntahkan. Aku ingin bicara dan membuatmu tersenyum,
tetapi aku tidak bisa. Sebab ada sesuatu yang begitu menekan dari sorot matamu.
Kau terluka Tuan, siapa yang berani melukaimu? Bila aku adalah dokter biar ku
sembuhkan lukamu. Namun ku rasa luka itu dalam tergores. Tetapi bicaralah.
Kau mulai menggerakan bibirmu,
aku memasang lekat lekat telingaku dan mengkoordinir hati yang pekat. Kau
bercerita tentang dia yang ku sebut dulu nyonyamu. Mungkin dulu kau pernah
menyukainya tetapi bukan itu yang aku permasalahkan. Sebab aku menyukaimu,
itulah urusanku. Sedang kau tidak begitu, itu urusanmu! Itulah Tuan sebuah
kalimat yang selalu menjadi penegakku. Yah, Tuan ini bukan waktunya aku
membicarakan cerita tentang diriku. Maaf aku akan mendengarkanmu.
Apapun yang pernah dia lakukan
padamu di masa lalu. Aku ingin peduli, namun terkadang aku merasakan hatiku
menjadi asing. Setiap kalimat yang kau ucapkan terlihat jelas ia pernah
menggoreskan kecewa yang dalam hingga kau terlalu berhati-hati. Patah hati itu
biasa Tuan, kau harus mempersilahkan dirimu bersedih. Meskipun banyak orang
menganggap tabu. Bersedihlah namun segera lah bangkit. Tuan kau harus mampu
menghilangkan goresan luka itu sendiri, sebab aku tidak akan mampu bila kau
masih tak sudi. Kau selalu merasa dirimu begitu buruk untuk dicintai, padahal
setiap gadis memiliki cara pandangnya sendiri. Termasuk aku. Meskipun banyak gadis tidak mengistimewakan kamu, apakah cukup untukmu bila aku menjadikanmu istimewa?. aku akan meminjamkan pundakku untukmu bersandar. Tetapi sembuhkan lah segera lalu lepaskan sebelum terlambat. Jika belum Itu membuat aku
kalah, asing.
"Kamu itu aneh." Kataku tiba-tiba sambil memandang lurus ke arah senja.
"Aku?. kenapa?."
"Aku tidak suka mendengar ceritamu. Jangan lewatkan orang baik, orang baik itu langka." Kataku.
"Aku tahu orang baik itu langka. Apa kamu termasuk orang baik?." Tanyamu, kali ini tepat menatap manik mataku.
"Aku yakin kamu orang baik, karena itu aku tidak akan melewatkanmu." Lanjutmu, kali ini dengan memasang senyum yang paling mempesona di tengah senja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar