Malam
ini aku ingin sendiri, menikmati langit yang mendung. Saat seperti ini aku
selalu bahagia di temani Sepi. Banyak orang membenci Sepi tetapi tidak untuk
aku, seorang gadis yang selalu membagi cerita bersama Sepi. Walaupun iya tidak
mau bicara, tidak mau menanggapi, hanya diam terkadang membuat aku ingin
berteriak agar dia bicara. Namun Sepi selalu saja berdiam diri tidak peduli,
aku menantikan cakap bersamanya. Aku termenung bersama Sepi yang lagi-lagi
membisu.
“Sepi, kau adalah teman terbaik.”
Kataku memandangnya sambil tersenyum. Namun ia tidak menanggapi.
“Bagaimana, kau bisa begitu
tenang dengan kesepian. Sedang aku masih begitu menggerutu setiap hal-hal yang
tidak aku suka silih berganti.”
Sepiku masih membisu, tidak
bicara satu kata pun.
“Sepi, mungkinkan aku melakukan
kesalahan? Aku tidak tenang, aku merasa sebuah benalu telah mengambil alih
seluruhnya.”
Ia tidak juga berbicara.
“Sepi, salah aku mencintainya? Salah
aku jatuh kan hati pada dia? Aku tidak mengenalnya bahkan untuk mengetahui
siapa dia aku masih tertatih. Aku merasa bodoh, aku tidak tahu apa-apa. tetapi
kenapa aku nekat berada di sampingnya. Sedang ketakutan-ketakutan aku buat
sendiri.” Kali ini sebuah genangan air hangat mengalir di pipi. Sepi, lagi-lagi
ia menjadi saksi betapa lemah aku.
“Sepi bicaralah! Aku tidak peduli
kau akan memarahi atau mencaci tapi tolong katakan sesuatu. Aku membutuhkan
kalimatmu! Aku membutuhkanmu!.” Kali ini aku tidak bisa membendung amarahku
pada sepi, bukan pada sepi tetapi pada diriku sendiri.
Sepi menemaniku dalam isak
tangis, air mata yang mulai tandas. Air mata yang tersimpan lama, ku usahakan
tidak tumpah saat apa pun. Kini ia kembali jatuh tidak berdaya lagi-lagi di
depan Sepi. Sepi betapa teganya dia membiarkan aku seperti ini. Aku membencinya!
“Menangislah.” Kalimat pertama
dari Sepi. “Menangislah kalau kau ingin menangis. Kau tetap seorang perempuan
yang memakai perasaan. Jangan sok tegar, kau bukan robot yang di modif menahan
gempuran. Bukan?.” Lanjutnya.
“Tidak ada yang salah untuk
mencintai, siapa pun dia. Tidak pernah salah ketika hatimu memilih. Tetapi kau
harus menjatuhkan hati pada cinta yang aman agar hatimu yang sudah lama kau
bentengi tidak hancur. Kau harus menjatuhkan hati pada cinta yang aman.” Katanya
lagi, kali ini ia mulai menepuk pundakku.
“Apakah dia bukan cinta yang aman
untukku?.” Tanyaku. Sepi menghentikan tepukannya, ia menerawang ke langit
malam. Tatapannya penuh arti membuat aku semakin tidak memahami Sepi.
“Apakah kau yakin dia
mencintaimu? Apakah kau yakin di hatinya tidak ada nyonya yang lain? apakah kau
yakin, bahwa hujanmu sudah tepat jatuh dihatinya?. Bila kau belum yakin dan
percaya cobalah tanyakan pada hatimu. Amankah dia untuk kau cintai?.”
Kali ini aku terdiam mendengar
ucapan Sepi. Bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu aku masih begitu ragu.
“Aku gadis biasa, Sepi. Aku takut
tidak cukup sekedar hati untuk membahagiakan dan membuatnya nyaman. Aku takut
suatu saat ia pergi pada sosok lain yang pernah menempati tempat dihatinya
dalam waktu lama. Sebab aku masih tidak mengerti cara membuatnya bahagia
seperti ia bahagia bersama nyonyanya dulu. Aku takut tidak cukup membuatnya
bahagia.”
“Kau cukup tahu Sepi, betapa aku
selalu berdoa untuk kehadirannya. Meskipun aku selalu menekan perasaan setiap
hari agar tidak tumbuh harapan yang menyakitkan. Kali ini aku bersamanya, ingin
terus bersamanya sampai waktu yang tepat.”
“Ha Ha Ha.” Sepiku tertawa sinis.
“kenapa kau tertawa?.”
“Bila kau ingin bersamanya,
lakukan. Kau memang biasa jauh dari kata sempurna. Tetapi buatlah hatimu yang
tidak biasa. Lalu, Bila ia pergi kau cukup tahu bahwa Tuhan memberikan kesempatan
padanya untuk bersama dirimu. Kau harus percaya tidak selamanya waktu lama itu hebat. doa-doalah yang memanggil ia datang. Jangan pikirkan hal yang tidak-tidak. Sekarang tendang
nyonya itu keluar, kali ini kau tidak boleh mengalah pada pesimis.”
“Aku lelah bersamamu, aku ingin
melihatmu bersama seseorang berbagi cerita. Melihatmu bahagia tanpa ada lagi
keresahan.” Kata Sepi.
“Bebahagialah, kau tidak boleh
bersama Sepi lagi.”
Sepi beranjak pergi, benar kata
Sepiku. Aku tidak akan melepaskan dia, apapun yang terjadi. Aku ingin memeluk
Tuan, bersamanya. Meskipun aku harus menjadi egois. Semoga Tuan benar-benar
telah menempatkan aku
pada hatimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar